Tubuh kurus itu terbaring di
atas dipan yang terbuat dari papan usang dan tua. Di setiap sudutnya
sudah dimakan rayap, lapuk dan menunggu ambruk. Ia masih meringkuk tanpa ragu
akan jatuh dan tertusuk paku tajam berkarat menyebabkan luka bernanah, infeksi,
tetanus, bahkan kematian. Tiada ragu terus merajut bunga tidur. Memasuki
dimensi mimpi yang telah memenuhi labirin angan di siang hari. Tubuh itu
meringkuk dibalik selimut lusuh yang juga usang.
Terdengar takbir yang mengagungkan asmaNya. Suara itu begitu dekat
menggema dari surau yang hanya beberapa hasta dari batas dinding
pembaringannya. Merdu dibawa hening angin pagi yang berbisik di celah daun
jendela yang terusik. Menyeruak
tabir-tabir keheningan malam yang membelai lelah. Namun, suara itu terasa begitu
jauh memanggil-manggil bagi jiwa yang masih akrab dengan pembaringan. Seakan
bersumber dari negeri tanpa nama. Menyapa daun telinga yang terbuka. Tapi
mata masih juga terpejam menikmati peraduan.
Melenguh sesaat… Membuka mata sesaat…
Kemudian menarik selimut yang juga usang menutup tubuh yang hampir
tinggal tulang. Tak butuh waktu lama untuknya terlelap kembali. Dan fajar
berlalu bersama untaian kisah yang diawali dengan kealpaan dan ketidak
sempurnaan.
*****
Embun telah lelah menyapa dedaun pohon dan rumput-rumput liar di tepi
jalan. Menguap dan berlalu seiring
pendaran cahaya dari timur yang menggantikan kehadiran malam. Tanpa citra
sedikitpun dipermukaannya seolah ia tak pernah hadir di sana. Pendar cahaya itu
menghamburkan hijaunya dedaunan yang masih bersemi dan yang kekuningan karena
termakan usia, merangas atau bahkan terserang hama.
Bukan suara-suara yang membuat
ia terjaga. Melainkan mentari yang sudah meninggi. Mengusik mata dengan
sinarnya yang tajam. Menembus celah-celah dinding tepas yang belum juga terganti.
Cahaya itu seolah membawa pesan dari penguasa alam. Mencoba menembus
gelapnya hati yang mati. Bahkan, cahaya itu tanpa bekas dalam pekatnya.
“Huh…!” keluh kesah menyambut hari yang tak lagi pagi. Terusik istirahat
yang selalu dirasa kurang. Namun perut telah meradang. Minta diisi sekalipun hanya dengan sepotong roti
yang telah basi. Hidup di dunia masih tetap dianggap berarti. Sedang tidur
panjang kematian dianggap hanya dongeng menakutkan yang diharap tak singgah
dalam kenyataan.
*****
Tarikan nafas dan denyut nadi
menghantarkan hari menuju siang. Tubuh itu kini berbaju lusuh di persimpangan
dekat sebuah pasar dengan luka pura-pura. Menengadah tangan berharap sumbangan
suka rela. Dengan wajah memelas, mengusik jiwa yang lalu-lalang. Tak ada yang
peduli. Hanya sebahagian memandang
sinis seperti najis. Sedang yang lain, berlalu tanpa melirik sedikitpun.
Umpatan sering kali terujar
dari rongga antara dua bibirnya setiap kali jiwa-jiwa yang lalu lalang itu
tidak mengulurkan tangan yang menggenggam recehan. Atau pada mereka yang
melemparkan recehan pada kotak di depannya yang nilainya tidak lebih dari
sebuah permen. Tentu saja setelah mereka semua berlalu. Lidahnya yang lentur
menyempurnakan umpatan itu.
”Pelit!” ”Sombong!” ”Awas
kalau aku yang jadi orang kaya!” berkali-kali terujar. Tapi, jiwa-jiwa yang
lalu lalang itu tak juga peduli. Sebahagian bahkan mencibir dan menganggap
dirinya gila. Semakin jelas pada guratan wajah-wajah mereka dan pandangan
mereka yang menghinakan.
Matahari telah tergelincir sedikit
menuju tenggelamnya. Gaung suara itu kembali terdengar. Memanggil-manggil dari menara
yang tinggi. Dan dari menara yang dapat terlihat dari tempat duduknya. Menembus
celah udara dan berbaur keramaian di sana. Merambat dengan kecepatan
gelombang beriring kewajiban siang. Tetap ditanggapi sunyi dengan pura-pura
menyibukkan diri. Sedang matahari sudah mulai ruku’ melewati pertengahannya.
Tubuh itu hanya berdiam diri
tanpa ekspresi. Menyuarakan caci maki sebab
rezeki belum juga diberi. Entah dendam apa yang merasuk hingga suara itu
dianggap tabu seolah berasal dari tempat yang jauh di negeri fatamorgana. Dibiarkan
berlalu tanpa makna. Suara itu masih sahut-menyahut dari menara yang satu ke menara
lainnya. Semakin ramai mewarnai suara yang telah ada. Berlomba dengan suara
jiwa-jiwa yang masih terus saja berburu. Entah apa dan berada di mana.
Jiwa-jiwa itu selalu hilang dibalik kepengecutan akan ketiadaan dan kehampaan.
Ketakutan akan kematian dan kemiskinan.
Terik matahari tak lagi
bersahabat. Menunjukkan
kemarahannya pada jiwa-jiwa yang terlena. Menyengat masuk menusuk kulit. Memaksa pori
terbuka lebih lebar, demi mengeluarkan butiran-butiran halus cairan dari dalam tubuh.
Menguap seketika beriring dengan aroma khasnya keringat. Demikian dengan tubuh
itu. Tetap bertahan di tepi
jalan, di persimpangan dekat sebuah pasar. Meski tanpa atap dia terduduk. Hanya
berkupiah tua yang disengaja terlihat kumal. Basah telah menoreh tanda di
perban luka yang masih tetap pura-pura. Tetap menengadah tangan dengan erangan suara
yang dibuat memelas. Seolah baru saja menghadapi kehidupan yang sangat
menyedihkan.
Waktu tak ingin peduli pada
hiruk-pikuknya dunia. Tak berhenti meski hanya satu kedipan mata atau satu
detakan jantung sekalipun. Tetap melaju menambah jumlah tarikan nafas yang
bernyawa di bumi. Menggenapkan hitungan usia dari detik hingga tahun. Menambah
jumlah bilangan namun membalikkan kenyataan. Semakin mendekatlah kehidupan
lain. Kehidupan abadi yang selalu terlupakan dan sengaja dilupakan. Jiwa-jiwa
yang berlari belum juga menyadari akhir perjalanan. Hidup adalah pemberhentian
sementara untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan baru dengan bekal yang bukan
materi.
Tetap saja menyibukkan diri
meskipun mentari mulai sedikit meredupkan teriknya. Mencoba menyentuh jiwa yang
sama dengan kelembutan cahayanya. Mengingatkan kejayaan siang akan berlalu. Pun
demikian usia, akan berlalu menuju senja. Mimpi esok belum tentu milik dunia.
Jiwa itu masih keras membatu. Atau mungkin telah terbang ke negeri
seribu impian miliknya. Meninggalkan tubuhnya yang mematung tanpa mimik. Seakan
hidup selamanya, dia memburu angannya secepat dia bisa. Tapi, takut akan
kelelahan menjadikannya seorang yang berpangku tangan. Seiring dendam kesumat
di hati, sebab asa tak pernah diraih. Bagaimana mimpi diraih sedang langkah tak
pernah berpindah? Terlalu asyik berkeluh kesah sedang yang lain telah berpeluh
darah. Hingga ia terhenyak.
Tubuhnya tak lagi tegak seperti
saat usia terbilang muda. Kini setengah membungkuk dan tertatih. Fikirnya tak lagi
setajam mata pahat di atas batu. Segera menghilang layak angin yang menyapa
debu. Tapi dendam sudah pun berkarat dengan kadar yang pekat. Menjadi jamur
pada hati yang hanya segumpal. Menjadikannya sakit dan kemudian merasakan hidup
menjadi pahit.
Dia harus menyalahkan sesuatu.
Tapi apa dan siapa? Dia tetap mencari-cari hingga lelah dan mengumpat takdir.
Ya, takdir memang layak dipersalahkan. Atau yang menciptakan takdir? Baginya semua warna telah sama. Tetap hitam
meski pedoman pernah diajarkan. Berpasrah dengan cara yang salah menjadikannya
selalu bersumpah serapah.
”Tuhan tidak pernah adil
kepadaku!” demikian ia selalu berbicara ke orang-orang di berbagai tempat dan
saat yang ia miliki. Di pinggir-pinggir jalan dan di warung-warung kopi setelah
hari menjelang malam. ”Dia hanya memilihkan jalan yang sulit bagiku.” tambahnya
mendramatisir. Semakin beratlah timbangan kekecewaanya seiring berjalan usia.
”Bukankah memilih adalah
pekerjaannya manusia?” sanggah seseorang kala itu yang terlihat bijaksana. ”Tuhan
tetap memberikan dua pilihan dalam setiap kesempatan kita” imbuhnya kemudian.
”Kitalah yang selalu menutup mata pada salah satunya.”
”Tapi aku tidak pernah melihat
siang pada hari-hari ku” Cobanya untuk membantah. Tak ingin dipermalukan di
hadapan lainnya, meskipun tiada yang benar-benar memperhatikan pembicaraan
keduanya. ”Mungkin hanya malam yang setia bersamaku.”
”Kaulah yang tidur terlalu
lama, hingga ketika siang menyapa kau tidak melihat pendaran cahayanya. Cobalah
untuk terjaga.” Nasehat bijak keluar dari bibir yang sama. Nasehat yang tentu
saja dianggapnya sebagai penghinaan disebabkan kesombongan yang dipupuk dalam
hatinya. Kesombongan yang dibiarkan subur dengan menolak kebenaran yang
dihembuskan padanya.
”Atau kau yang menutup rapat dinding
hatimu. Hingga tak satupun cahaya menembusnya.” cecar jiwa yang sama seolah
merasa memenangkan pembicaraan sembari menyeruput kopi yang sudah berulang kali
ditambahi air. Kemudian memberi tanda kepada pemilik warung untuk menambah lagi
air setelah isi gelasnya mendekati setengah. Tentu saja tingkah ini
menjengkelkan pemilik warung yang tidak bisa mambantah karena takut kehilangan pelanggan
dan rezeki. Ketakutan yang sama dirasakan orang-orang yang duduk ramai di
warungnya.
”Bagaimana dengan dirimu?” Dia
mencoba menyerang balik. ” Kau hanya menjadi tubuh tua yang bergelut dengan bau
busuk sampah dan terik matahari”.
Kali ini dicobanya menguasai
pembicaraan. ”Kau tidak menjadi orang yang bekerja di gedung megah dan bergelar
yang terhormat. Tidak pula menjadi tubuh tua yang menikmati dana pensiun. Kau
hanya menjadi seorang pemulung yang bau sampah. Adakah kau temukan siang dalam
kehidupan seperti itu?” Dia benar-benar berupaya mengendalikan pembicaraan. Sedang
tubuh yang di sampingnya perlahan merendah dalam duduknya. Tubuh yang semula
tegak itu mulai menunduk, kemudian mengatakan ”Setidaknya aku tidak menjadi
peminta seperti mu. Aku masih memiliki harga diri meski kehidupanku dalam
keremangan senja. Tak sehitam kehidupanmu yang telah jauh dari ketundukan. Khawatirku
hitam itu telah merasuk dan merusak hatimu”
Itulah akhir pembicaraan yang
dilakoninya sore hari kemarin di sebuah warung di persimpangan pasar tersebut.
Pembicaraan yang hanya mencari pembenaran, dan bukan kebenaran. Hanya
menyisakan kerikil yang mengganjal dalam hatinya. Kerikil yang semakin tajam
mengikis keberimanannya.
*****
”Razia!”.
Tiba-tiba saja sebuah suara dari ujung jalan membuyarkan imajinya. Suara yang
disusul dengan kericuhan di sepanjang jalan di persimpangan sebuah pasar. Dari
arah sumber suara dia melihat beberapa petugas dengan sigap melompat dari mobil
patroli, kemudian mulai memburu dan menangkapi rekannya sesama peminta di
persimpangan itu. Sejumlah pedagang asongan yang berjualan di pinggiran jalan
juga tak luput dari tindakan kasar petugas pamong yang berlindung di balik sebuah perintah tugas. Pemandangan yang
sempat terekam olehnya sebelum ia juga bergegas meninggalkan tempat ia
terduduk.
”Razia
gepeng!”. ”Razia pedagang!” teriak suara-suara. Entah menjawab pertanyaan
siapa. Suara-suara itu kemudian berbaur dengan suara lainnya. Suara gerobak
dagangan yang didorong pemiliknya yang ketakutan. Suara kaki-kaki yang berlari
menyelamatkan diri. Suara detak jantungnya yang dirasa semakin kencang. Dan
suara panggilan yang sama, yang siang tadi telah memanggil kini mengumandang kembali
dari puncak-puncak menara yang masih terlihat dari persimpangan itu.
Dia
ikut berlari...
Hanya suara itu yang terus
mengikuti dari menara satu ke menara lain seolah telah diatur untuk menyusul
langkah kakinya yang tergesa. Suara itu terdengar semakin menjengkelkannya.
Sedang dalam keadaan lapang suara itu begitu tabu baginya, mana pula saat
tergesa seperti ini. Tentulah dia akan memilih menyelamatkan diri daripada
harus berurusan dengan pegawai-pegawai berseragam atau menunjukkan ketakutannya
pada pemilik panggilan itu.
Dia
masih berlari hingga dengan cepat lelah menghampiri kedua kakinya yang sudah
renta. Hanya beberapa meter dari tempat duduknya semula. Kemudian memilih untuk
berbaur dengan pejalan kaki lainnya hingga di sebuah tikungan ia berbelok ke
dalam gang kecil dan memilih berdiam dan bersembunyi di balik dinding sebuah
rumah. Berharap untuk tidak ditemukan siapapun di sana.
Perutnya
tiba-tiba berontak. Mengirim tanda untuk segera diisi. Perut yang belum disapa
sebutir nasi pun semenjak pagi. Hingga, ia menyadari bahwa ia telah
meninggalkan sesuatu dalam pelariannya. Kaleng tempat ia menerima uang belas
kasihan orang padanya. Ia ingat dalam kotak itu sejumlah uang yang mungkin telah
cukup baginya untuk menyambung hidup hari ini. Kaleng itu pasti tertinggal saat
ia tergesa menyelamatkan diri dari kekejaman petugas yang melakukan razia.
Perutnya
kian mengiris. Suara-suara khas perut yang lapar mulai terdengar. Kedua
tangannya diletakkan di perut. Dengan sedikit tekanan berharap dapat mengurangi
rasa sakit yang ditimbulkannya. Keluar dari persembunyian berarti dia harus
siap untuk tertangkap ke sekian kalinya. Dan setiap kali tertangkap, dia harus
menyetor hasil mengemisnya pada hari itu untuk membebaskan diri. Itu juga
setelah memberi cap jempol kirinya pada beberapa dokumen yang ia tidak mengerti
untuk apa. Dia memilih diam...
*****
Langit
mulai memerah saat tubuh itu beranjak dari persembunyiannya. Menyusuri jalan
menuju arah kembali ke persimpangan sebuah pasar. Tidak terlihat lagi
tanda-tanda di tempat itu baru saja terjadi hiruk-pikuk. Tapi persimpangan itu
masih saja ramai dengan orang-orang yang lalu-lalang.
Dia kembali ke persimpangan
itu. Dari kejauhan dia melihat kaleng bekas biskuit miliknya. Masih berada di
tempat semula. Semua yang berlalu-lalang sepertinya tidak memperhatikan
keberadaan kaleng itu. Mungkin juga isinya yang recehan itu tidak terusik.
Harapan itu membuatnya mempercepat langkah demi langkahnya. Ketergesaan
menjadikannya tidak awas pada sekelilingnya. Pada para pejalan kaki,
penyeberang jalan seperti dirinya, dan pada kendaraan yang melaju. Hanya beberapa
langkah ia menyeberang, langkahnya kemudian disusul suara decitan ban yang
dipaksa berhenti.
”Bruk!”
Tubuh
itu terlempar membentur pembatas jalan sebelum akhirnya terbaring dengan kepala
yang mengucurkan darah dan suara mengerang. Peristiwa itu mengundang perhatian
keramaian. Segera kerumunan terbentuk melingkari tubuh renta itu. Semua memandang
iba, kasihan dan sedih.
”Bawa
ke rumah sakit!” teriak sebuah suara.
”Pelan-pelan
mengangkatnya!” teriak suara yang lain lagi
”Hati-hati!”
imbuh yang lainnya.
Suara-suara
itu masih ia dengar seiring tubuhnya yang mulai diangkat. Kemudian suara itu
mulai terdengar seperti dengungan yang tidak jelas ditelinganya. Perlahan menjadi
gumaman yang menyertai suara lain yang kini menguasai pendengarannya. Suara
yang mengagungkan pemilik waktu siang malam, dan peralihan diantara keduanya. Suara
itu tetap mengudara dari menara-menara di sekitar pasar. Namun, sepertinya
menara-menara itu masih kalah tinggi dari keangkuhan jiwa yang berdiam di tubuh
luka itu. Suara itu tetap terabaikan seiring kesadarannya yang mulai
menghilang...
*****
Malam
mulai merangkak. Hiruk-pikuk dunia masih hidup di beberapa sudut. Bahkan
dintaranya baru memulai denyutnya. Tapi tidak di surau itu. Setelah suara itu
dikumandangkan sebagai penanda kewajiban yang ke lima, sebuah pengumuman
kematian menggema menyebutkan sebuah nama. Semua yang hadir saling menatap dan
mencoba mengingat si pemilik nama. Dan, semua kemudian berlalu dan melupakan...
*****